Bisa buang air kecil sendiri dan tidak lagi tergantung pada popok/ diapers kelihatannya sederhana, tapi kemampuan itu ternyata cukup kompleks, lho. Kita menyebut proses belajar anak ini dengan istilah “toilet training” atau “potty training”. Untuk bisa melakukannya, minimal anak harus sudah siap dalam 3 hal ini, yaitu sudah siap secara fisik dan motorik, sudah siap dari sisi bahasa dan komunikasi, serta sudah cukup percaya diri.

Biasanya anak sudah mulai bisa pipis di kamar mandi sejak ia berusia 2 tahun. Kalau dari perkembangan motorik dan fisiknya, ia dianggap sudah dapat merasakan saat ingin pipis dan sudah bisa melepas celananya sendiri. Dari sisi bahasa, ia sudah dapat memahami instruksi sederhana, dan mampu menyampaikan kepada orang lain apa yang ia rasa dan butuhkan. Sementara dari sisi kepercayaan diri, anak sudah tidak khawatir mengenai apa yang akan terjadi saat popoknya dilepas. Ia tidak akan merasa bingung, cemas, takut, atau bahkan merasa bersalah saat proses toilet training berjalan.

Beberapa Pendekatan dalam Toilet Training

1. Pendekatan Child-Oriented

T. Berry Brazelton, seorang dokter anak, menulis dalam sebuah jurnal ilmiah yang terbit pada 1962 mengenai metode toilet training yang diterapkan kepada pasien-pasiennya. Ia percaya bahwa setiap anak memiliki waktu dan kesiapannya sendiri, sedangkan tugas orang tua adalah memberikan motivasi dan bukan paksaan. Dengan metode ini, anak dengan sendirinya akan menunjukkan ketertarikan pada apa yang dilakukan orang tuanya di toilet dan mereka ingin menirunya. Biasanya saat anak sudah hampir berusia 3 tahun. Itulah mengapa metode ini tergolong child-oriented atau berpusat pada anak.

Metode Dr. Brazelton didukung pula oleh Dr. Benjamin Spock, seorang dokter anak terkemuka di Amerika Serikat. Beliau meyakini bahwa saat anak sudah siap, proses melepas popok akan lebih menyenangkan dan tidak mencemaskan bagi anak. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar anak akan siap di usia 2 sampai 2,5 tahun.

Berikut ini beberapa prinsip dalam metode toilet training yang berpusat pada anak (child-oriented):

  1. Pada metode ini, popok tetap digunakan selama proses belajar berlangsung.
  2. Tentukan istilah yang akan digunakan, misalnya pipis, pup, dan sebagainya.
  3. Siapkan dudukan toilet khusus anak agar ia tidak was-was saat duduk di toilet. Bisa pula menggunakan potty, yaitu kursi khusus yang dirancang untuk toilet training.
  4. Ajari anak cara menyampaikan saat ia ingin pipis, misalnya “Ayah, aku mau pipis.”, atau “Pipis, Bunda”. Jangan lupa apresiasi saat ia berhasil pipis di toilet. Pelajari dan amati juga tanda-tanda anak ingin pipis atau bab.
  5. Gunakan penguatan positif seperti pujian dan motivasi, sebaliknya jauhi hukuman, bahkan marah atau menertawakan anak.
  6. Pastikan semua orang di sekitar anak ikut mendukung dan mengikuti prinsip-prinsip ini.
  7. Setelah berhasil selama beberapa hari, sarankan kepada anak untuk mulai menggunakan celana dalam berbahan kain. Bila perlu, jadikan ini momen spesial yang dirayakan.

(sumber)

2. Pendekatan Parent-oriented

Kalau Dr. Brazelton dan Dr. Spock menyarankan toilet training dilakukan sesuai kesiapan dan kemauan anak, doktor Richard Foxx dan Nathan Azrin malah menganggap pendekatan itu kurang efektif. Maka dalam buku “Toilet Training in Less Than a Day”, mereka menekankan pentingnya peran orang tua untuk mengajari anak ke toilet.

Metode yang digunakan adalah latihan ke toilet yang berulang-ulang, pemberian banyak pujian dan motivasi, namun juga koreksi saat diperlukan. (sumber)

Training ini juga memerlukan kesiapan anak, contohnya ia sudah bisa menahan pipis selama berjam-jam, sudah dapat menurunkan dan memakai celananya sendiri, serta sudah memahami instruksi. Dan ada pula perlengkapan yang harus disiapkan, seperti potty atau dudukan toilet, boneka yang bisa buang air kecil (drink and wet doll), snack atau minuman yang disukai anak, dan celana yang mudah dinaik turunkan.

Langkah-langkahnya jelas dan diatur oleh orang tua. Langkah pertama adalah menggunakan boneka sebagai contoh, dimana orang tua akan membawa boneka ke potty, membuat seakan boneka itu buang air kecil, lalu memuji dan memberikan snack sebagai hadiah kepada boneka tersebut. Sebaliknya, anak juga diperlihatkan contoh dimana boneka itu pipis di celana. Orang tua menegur dan mengatakan “Tidak, anak besar tidak pipis di celana.” Lalu mendudukkan boneka itu ke potty/ toilet, menunjukkan bahwa tempat yang tepat adalah toilet, kemudian mengganti baju/ celana boneka tersebut. Selama proses tersebut, anak diminta untuk memeriksa popoknya sendiri. Jika popoknya kering, maka ia mendapatkan hadiah atau snack yang sama.

Jika anak sudah memahami, maka saatnya ia yang dilatih ke toilet. Lepaskan popok dan hanya gunakan celana kering, ajak anak ke toilet/ potty setiap 15 menit sekali atau jika diperlukan. Turunkan celana anak, duduk tenang dan tunggu, setelah selesai pakaikan lagi celananya, siram toilet atau kosongkan potty, dan letakkan di tempat penyimpanannya lagi.

Setiap kali ia melakukannya dengan benar, berikan hadiah dan pujian. Sebaliknya, berikan koreksi secara konsisten saat ia masih pipis di celana. Jika ia ngompol, bawa ia ke potty/ toilet, turunkan celananya, dudukkan di toilet selama beberapa saat, lalu tunjukkan celananya yang basah, ganti dengan celana yang kering, dan ingatkan untuk menjaga celananya tetap kering dengan pipis di potty. Lakukan terus secara berulang-ulang sampai anak mengingatnya dan dapat melakukannya sendiri.

3. Beberapa pendekatan lain

Dalam buku “It’s not your fault!”, Joseph Barone, M.D. membagi toilet training ke dalam dua waktu yaitu siang dan malam. Di siang hari anak lebih mudah mengontrol dan menahan buang air dibandingkan saat ia tidur di malam hari, jadi mulailah dengan training di siang hari. Untuk anak usia 27 bulan, pada umumnya anak sudah bisa menahan pipis selama 2 jam sehingga toilet training sudah bisa dimulai. Maka Barone menyarankan untuk menjadwalkan membawa anak ke toilet/ potty setiap 2 jam sekali. Gunakan alarm agar tidak terlewat, dan meskipun anak baru saja ngompol 15 menit sebelumnya, anak tetap akan kita bawa ke toilet. Tujuan dari metode ini memang membangun kebiasaan baik dan rutinitas. Tunggu dan dampingi anak selama 15 menit dan jangan diburu-buru. Boleh juga sambil dibacakan cerita atau diajak ngobrol agar anak rileks. Memberikan pujian juga penting dalam pendekatan ini. Jika selama 1 minggu anak masih sesekali ngompol, orang tua dapat mencoba meningkatkan interval waktu ke toilet setiap 15 menit sekali sampai nanti benar-benar mencapai periode popok kering.

Berbeda lagi dengan yang ditulis oleh B. Thompson dalam buku elektroniknya “Potty Training in 3 Days”. Anak mulai melepas popok di hari pertama dan orang tua memberi tahu bahwa ia akan belajar buang air di toilet seperti anak besar. Bila perlu tidak usah kenakan celana pada anak karena tentunya ia akan sering mengompol. Metode ini hanya dapat dilakukan bila orang tua punya waktu dan bisa fokus kepada anak selama 3 hari. Jika anak buang air kecil, segera bawa ia ke potty/ toilet dan arahkan untuk meneruskan pipis di sana. Jangan bereaksi berlebihan, namun sampaikan dengan tenang untuk menahannya sampai di kamar mandi/ potty. Jika ia sudah selesai, jangan lupa beri pujian.

Di hari kedua, mulai jadwalkan anak ke toilet/ potty, misalnya setelah waktunya makan atau di waktu-waktu lain. Anak juga sudah menggunakan celana kain biasa agar ia bisa merasakan ketidaknyamanan saat celananya basah jika ia tidak buang air di toilet. Selanjutnya di hari ketiga, anak diajari untuk menyampaikan saat mereka ingin buang air.

Nah, sahabat CC, itulah beberapa metode toilet training yang dapat kita pelajari dan coba terapkan. Silakan baca lebih lanjut referensi atau buku-buku yang kami sebutkan di atas untuk mengetahui dengan jelas langkah-langkah dan persiapannya. Terkadang kita harus mencoba untuk mengetahui apakah suatu metode cocok atau tidak untuk anak dan orang tuanya, jadi jika menemui kegagalan jangan ragu untuk mencoba cara yang lain.

Semoga kegiatan toilet training si kecil berjalan dengan lancar dan menyenangkan, ya!

Image by Alexas_Fotos from Pixabay