“Ibu, tadi ada teman yang ganggu abang di sekolah.”
“Seperti apa mengganggunya?”
“Dia kejar-kejar abang sambil bawa jarum seperti mau tusuk-tusuk abang.”
“Waduh! Jarum kan tajam. Apa abang tidak minta dia untuk berhenti?”
“Iya. Sudah-sudah…”
“Terus?”
“Tapi dia terus begitu.”
“Jadi?”
“Tadi ada bu guru, terus bilangin teman abang itu.”

Sahabat CC mungkin pernah mendapati anak pulang sekolah dengan cerita seperti ilustrasi di atas ya… Kesannya agak menyeramkan dan membuat kita khawatir kalau anak akan jadi korban perundungan (bullying) di sekolah, apalagi kalau ini adalah pengalaman pertamanya bersekolah.

Orangtua mana sih yang tidak ingin melindungi anaknya sendiri? Hanya saja kenyataannya, kita memang tidak bisa selalu berada di sekitar anak untuk melindunginya. Karena itu, kita perlu mempersiapkan anak untuk menghadapi situasi-situasi yang memerlukan keterampilan melindungi diri sendiri.

Dalam kajian psikologi dan komunikasi dikenal istilah asertivitas, yaitu suatu kemampuan untuk menyatakan hal-hal yang dirasakan, dipikirkan, dan diinginkan seseorang dengan tetap mempertimbangkan perasaan, pemikiran, dan keinginan orang lain. Supaya bisa bersikap asertif, seseorang perlu jujur terlebih dulu terhadap perasaannya sendiri. Sesudah itu, dia perlu mengungkapkan perasaannya dengan cara yang proporsional supaya orang lain tahu tanpa harus merasa tidak nyaman.

Kalau disederhanakan, berikut ini beberapa langkah yang bisa kita bekalkan pada anak:

1. Cara dia mengungkapkan ketidaknyamanannya

Anak dilatih untuk menyatakan kalau dia tidak ingin diperlakukan dengan tidak menyenangkan. Anak diajak mengenali perlakuan-perlakuan seperti apa saja yang membuatnya merasa tidak nyaman. Kalau mengacu pada ilustrasi di atas, anak bisa diminta untuk bilang, “Saya tidak mau kamu kejar-kejar.” atau “Saya tidak suka main seperti ini.”. Pilihan kata dan kalimat disesuaikan dengan perasaan anak saat dihadapkan pada situasi tertentu yang tidak menyenangkan. Saat berlatih mengungkapkan ketidaknyamanan, sahabat CC bisa ingatkan kembali anak untuk menatap mata lawan bicaranya. Memandang lawan bicara adalah salah satu bentuk penghargaan kita akan keberadaan orang lain, juga berfungsi sebagai penegasan kesungguhan kita saat berbicara.

sumber: pixabay.com

2. Cara dia menegaskan ketidaknyamanannya

Adakalanya anak-anak usia dini belum mampu memahami maksud pernyataan dari lawan bicaranya. Maka anak kita perlu menegaskan tindakan perlindungan dirinya dengan meminta supaya orang yang berperilaku tidak menyenangkan menghentikan tindakannya. Misal dengan berkata, “STOP! Saya tidak mau dikejar-kejar.” atau “Berhenti! Saya tidak suka kalau mainnya seperti ini.”

3. Cara dia untuk bersikap setelahnya

Orangtua perlu memberikan sudut pandang alternatif kepada anak kalau mungkin saja teman-temannya mengganggu karena sebenarnya ingin bermain bersama tapi belum tahu cara bermain yang baik. “Bisa jadi temanmu itu pengen main denganmu lho, bang… cuma mungkin yang dia tahu, abang sukanya lari-lari. Jadi dia ajak abang bermain dengan cara kejar-kejar abang pakai jarum supaya abangnya lari.”
Dengan berlatih melihat dari sudut pandang lain, harapannya anak bisa bersikap objektif dan mau melibatkan teman-teman yang mengganggunya pada aktivitas lain yang dirasa bisa dilakukan bersama-sama. Anak bisa diminta melengkapi kalimat pernyataannya menjadi seperti ini, “Saya mau bermain denganmu tapi bukan bermain seperti ini. Ayo kita mainkan mainan ini.” atau “Saya tidak suka mainan seperti ini. Apa kamu mau mainkan ini sama saya?”

Ternyata keterampilan melindungi diri itu bukan melulu tentang latihan fisik pertahanan diri ya, sahabat CC! Dan ternyata kita sudah bisa bekali keterampilan ini sejak anak usia dini. Yuk kita latihan bersama anak kita sekaligus meyakinkan kalau anak kita bisa melindungi dirinya sendiri meski kita tidak setiap saat bersamanya. Selamat berlatih bersama!