Indonesia mengenal Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita, khususnya dalam bidang pendidikan. Ia memperjuangkan hak perempuan untuk setara dengan laki-laki. Kini, lihatlah di sekeliling kita. Perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Berbagai profesi juga dijalani oleh perempuan, menunjukkan bahwa perempuan Indonesia berdaya.

Namun jangan kaget Sahabat CC, jika angka putus sekolah khususnya pada anak perempuan masih cukup tinggi. Tercatat ada 13.338 orang anak perempuan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan SD (Sekolah Dasar) di 34 provinsi di tahun 2017/2018 (sumber). Di tingkat SMP lebih dari 18.000 (sumber) dan di tingkat SMA dan SMK hampir 39.000 (sumber). Tentu penyebabnya bermacam-macam, namun kita dapat melihat bahwa masih banyak anak perempuan yang kehilangan kesempatannya untuk mengenyam pendidikan.

Dalam hal ini Indonesia tidak sendiri. Masih banyak anak perempuan di negara lain yang juga mengalami nasib serupa.

I tell my story not because it is unique, but because it is the story of many girls.

Saya menemukan kutipan tersebut di malala.org, diucapkan oleh seorang perempuan Pakistan bernama Malala Yousafzai. PBB menetapkan hari ulang tahunnya tanggal 12 Juli sebagai Malala Day. Tentu istimewa sekali perempuan ini sampai-sampai hari kelahirannya dirayakan oleh organisasi global tersebut.

Dari Kecintaan Terhadap Sekolah Hingga Nobel Perdamaian

Di hari ulang tahunnya yang ke-16 tahun 2013, Malala berbicara di kantor pusat PBB di New York. Ia menjadi simbol dari perjuangan anak perempuan untuk mendapat pendidikan. Ia menceritakan kisahnya sebagai anak sekaligus murid dari seorang guru yang mengajari anak-anak perempuan di kotanya. Kala itu di tahun 2008, kelompok ekstrimis Taliban menguasai Lembah Swat di mana ia tinggal dan secara tiba-tiba melarang anak-anak perempuan bersekolah.

Malala yang sangat suka bersekolah tak tinggal diam. Tahun 2012, di usianya yang baru menginjak 15 tahun, ia berbicara lantang di hadapan umum tentang hak anak perempuan untuk bersekolah. Taliban yang mengetahui hal ini menjadikannya target, dan pada Oktober 2012, seorang tentara Taliban menembak Malala di kepala.

Rupanya dunia memang ditakdirkan mengenal sosok Malala melalui penembakan itu. Ia dirawat dan menjalani pemulihan di RS Queen Elizabeth di Birmingham Inggris. Dunia internasional bereaksi mendukung Malala dan Taliban dikecam oleh sejumlah pemerintahan, kelompok aktivis, pejuang HAM, hingga kelompok feminist.

Setelah operasi dan pemulihan berbulan-bulan, Malala meneruskan perjuangannya sebagai aktivis hak pendidikan bagi anak perempuan. Ia meneruskan tinggal di Birmingham dan bersama Ayahnya membangun Malala Fund, sebuah lembaga amal yang didedikasikan untuk membantu setiap anak perempuan di dunia mendapatkan pendidikan dan masa depan sesuai pilihannya. Sepak terjangnya ini membuat PBB menganugerahkan Nobel Perdamaian pada Malala di tahun 2014, dan ia -yang pada saat itu berusia 17 tahun- menjadi penerima nobel termuda dalam sejarah.

Berdaya Sejak Usia Remaja

Seperti Malala, Kartini juga menunjukkan keresahannya terhadap hak perempuan untuk belajar sejak remaja. Saat ia berusia 14 tahun, tulisannya tentang Upacara Perkawinan pada Suku Koja diterbitkan oleh majalah wanita De Hollandsche Lelie (sumber). Serta tentu saja, kumpulan suratnya untuk Rosa Abendanon yang banyak bicara tentang keinginannya memajukan dan memberdayakan perempuan, menjadi saksi betapa ia adalah remaja yang berpikiran sangat dewasa. Kumpulan surat yang dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang itu ditulisnya sampai ia berusia 25 tahun.

Malala (dan Kartini) menunjukkan pada kita, bahwa dalam perkembangannya, remaja sudah memiliki potensi dan kekuatan untuk mengubah dunia. Jika kita memiliki anak yang sudah remaja (usia 12 – 18 tahun), maka berikan stimulasi terbaik untuk menyiapkannya menjadi orang dewasa yang berdaya guna. Mungkin terlalu jauh jika membayangkan remaja kita akan mengubah dunia, namun tumbuhkanlah visinya tentang masa depan dengan mengarahkan dan mendukung minat dan bakatnya. Tempatkan pula diri kita sebagai sahabat dimana ia bisa bercerita tentang apapun tanpa khawatir dihakimi, sekaligus dapat belajar banyak dari kita berdasarkan pengalaman dan teladan yang kita tunjukkan setiap saat.

Ya, tak mudah menjadi orang tua bagi remaja era milenial. Tantangan tak hanya soal dunia yang menjadi digital dan seperti sudah tak ada sekat, namun juga bagaimana memahami remaja dari sisi perkembangannya. Simak artikel-artikel Children Cafe yang lain tentang remaja, dan selamat tumbuh dan berpetualang bersama remaja Anda!

Sumber gambar: https://wallpapercave.com/malala-yousafzai-wallpapers