Bagi sebagian orang, gempa berkekuatan lebih dari 6 skala Richter yang terjadi di Pidie Jaya tanggal 7 Desember 2016 ini mungkin mengingatkan pada gempa dan tsunami di provinsi yang sama 12 tahun silam. Berbagai gerakan pertolongan bermunculan, mulai dari yayasan, komunitas, hingga perorangan.
Banyak dari kita yang bukan orang Aceh dan tak punya teman atau kerabat disana, namun tergerak untuk ikut meringankan beban mereka. Kaum nasionalis mungkin menyebutnya karena ikatan kebangsaan, saling bersaudara karena sama-sama Indonesia. Bagi yang mempelajari psikologi, akan melihatnya sebagai bentuk empati.
Mari kita lihat 6 hal yang perlu orang tua ketahui tentang empati :
1Empati diawali dengan kemampuan untuk memahami rasanya menjadi orang lain, menempatkan diri di posisi orang lain. Namun itu saja belum cukup karena di dalam empati juga ada kepedulian. Itulah yang menggerakan orang yang berempati untuk melakukan sesuatu. Contohnya, belum dapat dianggap empati apabila kita memahami bagaimana perasaan korban gempa bumi di Aceh jika kita belum melakukan sesuatu yang lebih nyata untuk membantunya.
2Untuk anak-anak di usia dini yang kemampuan kognitifnya masih terus berkembang, kita perlu memahami istilah egosentris. Yaitu kecenderungan anak untuk melihat dari perspektifnya sendiri tanpa mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Untuk membantu anak mengembangkan empati, dialog dan interaksi dengan orang lain perlu diperbanyak. Ajak anak untuk belajar mendengarkan dan dukung pula saat mereka ingin mengemukakan pendapat dari sudut pandangnya.
3Mengenali berbagai bentuk emosi adalah syarat terbentuknya empati. Ada 7 emosi dasar yang berkembang pada saat anak telah berumur 5 tahun, yaitu senang, sedih, takut, marah, malu, iri, dan bangga. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengenalan emosi ini, Anda bisa menyimaknya disini.
4Perempuan dianggap lebih mampu berempati dibandingkan laki-laki. Dalam penelitiannya, Nancy Eisenberg dan Randy Lennon menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mutlak. Kemampuan untuk berempati meliputi kemampuan untuk membaca emosi orang lain dan menerjemahkan ekspresi emosi -baik yang tampak jelas maupun tersirat. Anak perempuan lebih tepat dalam membaca emosi orang lain, namun menariknya, orang dewasa laki-laki justru lebih mampu menerjemahkan ekpresi emosi yang tersirat. Artinya, kemampuan untuk berempati tidak secara langsung dipengaruhi oleh gender.
5Pertumbuhan empati adalah proses panjang. Dilatih dengan intensif dan membutuhkan stimulasi dan arahan yang cukup. Orang tua yang mampu memberikan contoh akan lebih besar kemungkinannya memiliki anak-anak yang mampu berempati.
6Banyak cara sederhana untuk membantu anak mengembangkan empatinya. Diantaranya, biasakan berdialog dari hati ke hati dengan anak, ajak ia mengungkapkan perasaannya dan jangan ragu untuk mengungkapkan perasaan kita. Contoh lain, saat membacakan cerita atau dongeng. Selain bertanya tentang apa yang tengah dilakukan oleh sang tokoh, tanyakan juga apa yang tokoh itu sedang rasakan. Perdalam dengan bertanya “Mengapa putrinya takut?”, “Apa yang akan Adek lakukan kalau jadi pangeran?”, atau “Bagaimana ya caranya supaya naga itu tidak sedih lagi?”. Cara lainnya, ajak anak terlibat dalam kegiatan sosial dan berbuat baik sejak dini. Misalnya, jadwalkan 1-2 kali dalam setahun untuk menyumbangkan pakaian dan mainan untuk teman-teman di panti asuhan. Atau dorong anak untuk membagi makanan atau minumannya kepada teman yang lupa membawa bekal. Cukup mudah dan sederhana bukan?
Sahabat CC, itulah 6 hal tentang empati yang perlu kita ketahui. Berapapun usia anak kita, tak pernah terlambat untuk mulai mengajarkannya tentang empati. Selamat dan semangat memulai!