Korupsi adalah sebuah kata yang sangat familiar di telinga kita. Karena familiar kita menjadi tidak alergi mendengarnya, terbiasa mendengarnya dan bahkan mungkin (sadar maupun tidak) melakukan aktivitas korupsi dalam keseharian kita. Emosi kita terbakar saat mendengar pejabat negara yang terlihat santun, berwibawa, rendah hati dan terkenal jujur tertangkap tangan KPK saat melakukan tindak pidana korupsi. Namun saat kena tilang di jalan kita dengan santainya memberikan sedikit uang pada Pak Polisi agar SIM kita tidak ditahan.
Saya yang besar pada jaman orde baru sangat lumrah pada hal-hal kecil berbau korupsi, karena pada jaman itu korupsi terkesan dilegalkan atas dasar ABS (Asal Bapak Senang). Tapi mungkinkah saya akan terus diam saja saat anak-anak saya yang lahir di era reformasi dan perjuangan menuju demokrasi akan terjerumus pada lubang yang sama seperti saya? Tentu saja saya harap tidak, saya berusaha untuk bisa mendidik anak saya lebih baik daripada yang saya dapatkan dulu, dan tentunya saya berharap sistem akan berubah dan mendukung generasi anak saya menjadi generasi yang lebih baik daripada generasi saya.
Gayung pun bersambut. Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia datang dan Bandung menjadi tuan rumahnya yang dikemas dalam Festival Anti Korupsi. Children Cafe berkolaborasi dengan 123 Education4Kids berkesempatan untuk mengambil bagian dalam Pelatihan Parenting Anti Korupsi yang bertujuan memberikan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman pada para guru dan orang tua bagaimana untuk mendidik anak agar tidak memiliki perilaku korupsi.
Hari pelatihan pun tiba, saya bertugas menjadi Pelatih untuk Pelatihan Parenting Anti Korupsi di salah satu SD negeri ternama di kota Bandung. Saya memulai dengan meminta para peserta menuliskan perilaku korupsi yang ada di sekitarnya untuk mengidentifikasi praktik korupsi yang dapat ditemukan dalam keseharian. Hal ini dilakukan dengan alasan kita terbiasa dengan korupsi besar atau pejabat namun sering lupa dengan (misalnya) mengambil antrian orang yang juga merupakan perilaku koruptif.
Peserta terlihat santai dan langsung menuliskan di secarik kertas untuk selanjutnya didiskusikan oleh kelompok besar. Saat ini tanpa diduga, salah seorang peserta mengajukan keberatannya. Hal ini terjadi karena kelas menyebutkan “menerima hadiah dari orang tua murid” merupakan contoh perilaku koruptif. Peserta tersebut menyatakan “Apa salahnya guru menerima hadiah dari orang tua murid?” Keberatan juga terjadi ketika saya menyebutkan bahwa menerima hadiah termasuk sebagai gratifikasi. Disini pemahaman dan penilaian peserta akan gratifikasi mulai diselaraskan. Menerima hadiah merupakan hal yang wajar jika tidak diberikan berdekatan dengan waktu ujian dan semua guru sedapat mungkin menerima hadiah dengan adil, sehingga tidak terbentuk potensi kecemburuan pada pihak guru, perasaan harus atau berlomba untuk memberi hadiah dari pihak orang tua.
Setelah penyamaan persepsi mengenai kategori perilaku korupsi, materi dilanjutkan tentang perkembangan anak. Dengan latar belakang saya sebagai psikolog anak maka diskusi mengalir dengan nyaman dan mengasyikkan. Ada satu ibu guru yang sangat bersemangat untuk menceritakan hal-hal yang sudah dilakukannya di kelas. Satu contoh menarik yang saya ingat adalah, dia menerapkan bahwa setiap anak harus mau berbaris dengan rapih di satu garis, jika ada murid yang melanggar maka dia menegurnya. Selama 6 bulan dia melakukannya ternyata anak-anak akhirnya terbiasa berbaris dengan rapih. Dia membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat dan aturan konsisten pada akhirnya anak-anak bisa mengikuti aturan yang diberikan.
Di tengah pelatihan, muncul pertanyaan dari peserta mengenai kenapa selalu guru yang mendapat pelatihan anti korupsi. Hal ini tentunya bukan karena menuduh guru sebagai pelaku korupsi yang potensial, namun karena guru — berdampingan dengan orang tua, adalah benteng utama pendidik anak dalam pendidikan moral. Hal ini didukung juga oleh Pengawas Sekolah sebagai perwakilan dari Dinas Pendidikan Kota Bandung yang mendudukkan pentingnya peran guru dalam pencegahan korupsi dan perlunya guru menjadi tauladan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi anak didik.
Kelas satu hari itu memberikan pelajaran berharga untuk saya dan semua tim dan tentu saja menjadi pengalaman yang luar biasa. Jika kami kembali dipercaya melakukan kegiatan ini, maka kami akan melakukan evaluasi dan melakukan berbagai perbaikan untuk bisa terlibat aktif dalam pengembangan generasi berintegritas. Untuk satu tujuan dan cita-cita mulia, mendidik generasi penerus bangsa yang lebih baik.